Laman

Minggu, 09 Februari 2014

Kenapa Resign?

"Kenapa resign? Sayang lho ilmunya.. nyari kerja kan susah.. bla bla bla" banyak sekali yang berkomentar serupa ketika mendengar saya resign dari kantor untuk memulai usaha rumahan sendiri: brownies buah La Brownie.

Analogi saya terbalik: sayang ilmunya jika hanya membesarkan perusahaan (orang lain) ketika sebenarnya bisa membangun (per)usaha(an) sendiri.

Faham sih, orang-orang menilai dari apa yang mereka lihat. Kami baru belajar berdiri, belum berjalan apalagi berlari; belum bisa membuktikan apa-apa. Ya sudahlah.. wait & see kelak akan seperti apa jadinya kami. Saat kami sudah bisa berlari, mereka baru akan faham dg apa yang kami yakini sejak awal. Okey, mari berakselerasi *bahasa gueee :D

Selasa, 12 Februari 2013

...Catatan Hati Seorang Istri


Saya bukan ingin menyusun sinopsis atau mengupas gambaran besar isi tulisan Mbak Asma Nadia itu. Hanya ingin sedikit berbagi, uhm, sebut saja kecemasan.


Semalam saya hampir menghabiskan seluruh isi buku itu kalau saja tidak menyadari sudah jam 11 malam. Kisah-kisah di dalamnya membuat saya mau tidak mau kepikiran tentang masa depan. Fyi, saya belum menikah. Membaca buku ini, saya berharap mendapat gambaran -meskipun tidak utuh- tentang bagaimana rupanya kehidupan setelah menikah, yang kata orang tidak seindah masa-masa pedekate, tidak juga seindah masa-masa pacaran. *dan saya selalu penasaran, oya?*

Isinya boleh dibilang jauh dari kesan indah. Sebanyak 29 kisah di dalamnya, adalah kisah mengharu biru yang sungguh menguji kesiapan mental saya menghadapi fase baru dalam hidup. Perceraian, poligami, ditinggalkan untuk selamanya, dan banyak lagi kisah-kisah unpredictable lain.

Kebetulan, beberapa kenalan juga mengalami kejadian paling dihindari dalam rumah tangga: perceraian. Beberapa bahkan sudah memiliki buah hati ketika itu. Tentu mereka juga tidak pernah menginginkannya. Tapi apa daya, kata mereka, tidak ada jalan yang lebih baik dari itu. Seorang dari mereka -sebut saja Mbak Yani- pada awalnya limbung, tidak tau harus apa untuk menghidupi anak-anaknya, karena sebelumnya tanggung jawab menafkahi keluarga sepenuhnya ada di pundak suami. Seperti Mbak Asma Nadia, saya juga tidak berhak menghakimi siapa yang memiliki porsi kesalahan lebih besar, Mbak Yani atau suaminya. Tetapi, mendengar kisah beliau, saya miris. Bagaimana bisa seorang suami tega meninggalkan istri yang tanpa pekerjaan untuk menghidupi anak-anak mereka sendirian? 

Beberapa hari lalu, sempat juga berdiskusi soal poligami dengan seseorang. Dia menanyai saya tentang kesiapan berpoligami. Tentu saya bilang tidak. Tidak pernah terbayang akan seperti apa rupanya berbagi suami dengan orang lain. Soal materi dan waktu, mungkin bisa saja adil. Tapi soal hati, siapa yang bisa menjamin? Dan jawaban saya final, tidak. Terkecuali ada hal lain yang teramat mendesak. Tetapi, jauh di lubuk hati saya, diam-diam tersimpan kekhawatiran bahwa kelak dia benar-benar akan mengajukan permohonan tersebut. Meskipun, sepertinya dia hanya ingin saya siap menghadapi hal-hal unpredictable semacam itu. *Hmm.. saya tidak berani berfikir lebih jauh*

Fyi, dulu saya begitu idealis, berfikir bahwa setinggi apa pun pendidikan saya kelak, setelah menikah karir saya adalah di rumah, mengurus suami & mendidik anak-anak menjadi generasi yang membanggakan. Menurut saya, dulu, itu adalah pencapaian yg luar biasa bagi seorang perempuan, melebihi apa pun. Tetapi pada akhirnya, berhadapan dengan kisah-kisah di luar prediksi, terus terang idealisme saya sedikit demi sedikit bergeser. Bukan berarti saya tidak lagi mementingkan karir di rumah. Bukan juga saya ingin menomorduakan hal tersebut. Melainkan, sebagai perempuan, kelak saya harus bisa menghidupi (minimal) diri saya sendiri, sehingga jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, saya masih punya pegangan. Tetapi, tentu, konsekuensinya, saya harus lebih pandai memanage waktu, menyiapkan diri menjadi pribadi yang lebih tangguh untuk memikul dua tanggung jawab sekaligus, yang kelihatannya sama sekali bukan perkara mudah.

Hmm.. anyway, sepertinya saya berfikir terlalu jauh ya. Ada yang bakal ketawa sepertinya setelah baca ini ^_^

Rabu, 06 Februari 2013

Cinta Kopi, Waspada Kalsium Tercuri

Witing tresna jalaran saka kulina. Begitulah kira-kira yang terjadi dengan saya pada kopi. Pagi saya tidak akan lengkap tanpa refreshment drink yang satu itu. Ya, kita semua tau bahwa kafein dalam secangkir kopi memberikan efek simultan psikoaktif atau memberi efek “jaga” (alert), sehingga membuat kita merasa lebih bersemangat. Dan, bukan hanya tresna, akhirnya saya mulai kecanduan. Nah, usut punya usut, ternyata kafein dalam kopi mengganggu penyerapan mineral dalam tubuh lho, terutama kalsium. Waduh, kalo gitu harus mulai dikurangi dong ya?

Tidak hanya di dalam kopi, kafein juga sebenarnya terkandung dalam teh, cokelat, serta minuman kola. Bahkan teh sebetulnya mengandung kafein lebih besar dibanding kopi, mencapai 2-4%, sementara kopi hanya 1,1-2% bobot kering. Meskipun demikian, karena jumlah kopi yang dibutuhkan untuk membuat secangkir kopi lebih banyak dibanding jumlah teh pada takaran yang sama, maka kadar kafein pada secangkir kopi menjadi lebih tinggi dibanding secangkir teh. Secangkir kopi instan mengandung kafein 62-75 mg/cangkir, lebih rendah dibanding kopi yang diseduh dengan sistem saring-tetes (filter-drip) yaitu 85-140 mg/cangkir, tetapi masih lebih tinggi dibanding secangkir teh yang hanya mengandung 9-70  mg kafein per cangkir. Kopi robusta mengandung kafein dalam jumlah lebih besar dibanding arabika.


Konsumsi kafein dalam jumlah normal memang membantu memberikan efek  psikoaktif sehingga kita merasa lebih berenergi. Prof. Dr. Ali Khomsan, seorang Pakar Gizi dari IPB menyebutkan bahwa konsumsi kafein sebanyak 150-250 mg per hari dapat mengurangi kelelahan, menstrimulir pancaindera, dan meningkatkan aktivitas motorik tubuh. Meskipun demikian, konsumsi 250-500 mg kafein per hari dapat menyebabkan sakit kepala, tubuh gemetar, perasaan gelisah, dan gugup. Konsumsi kafein lebih tinggi lagi ternyata dapat menimbulkan kafeinisme, yaitu gejala keracunan kafein seperti insomnia, sakit kepala, tubuh gemetar, perasaan gelisah, gugup, dan mudah tersinggung.

Beliau juga menambahkan, kopi yang diminum sewaktu makan dapat meningkatkan pembuangan kalsium dari tubuh. Konsumsi kafein > 300 mg/hari dapat menyebabkan kehilangan kalsium dari tulang (bone loss) menjadi lebih tinggi. Sementara, ternyata tidak semua kalsium yang terkandung dalam makanan dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Ini bergantung pada ketersediaan biologisnya (bioavailabilitas), yaitu proporsi kalsium yang dapat diserap untuk digunakan dalam metabolisme tubuh terhadap kalsium yang dikonsumsi. Rata-rata orang dewasa hanya mampu menyerap 25% dari jumlah kalsium yang dicerna. Persentase ini dapat meningkat jika kebutuhan kalsium tubuh tinggi, misalnya pada remaja yang sedang dalam masa pertumbuhan dan wanita hamil. Kemampuan kita menyerap kalsium juga semakin menurun selama proses penuaan.
 
Kebayang kan, kurang asupan kalsium, ditambah rendahnya penyerapan dan kehilangan yang berlebihan, tentu berkontribusi terhadap defisiensi kalsium. Selain menyebabkan osteoporosis, defisiensi kalsium ternyata juga berkaitan dengan kejang (tetani), hipertensi, kanker kolon, serta obesitas.

Osteoporosis sendiri terjadi akibat resorpsi (pelepasan) kalsium tulang lebih besar daripada formasi (pembentukan) kalsium tulang. Kalsium yang dilepaskan dari tulang digunakan kembali oleh tubuh untuk berbagai macam keperluan, seperti pengiriman impuls syaraf ke seluruh bagian tubuh, penyimpanan & pelepasan hormon, penyerapan & penyimpanan asam amino, pengaturan sekresi asam lambung, menjaga keseimbangan cairan tubuh, dan sebagainya. Osteoporosis lebih banyak terjadi pada wanita dibanding pria karena wanita mengalami fase penurunan esterogen yang membantu penyerapan kalsium pada plasma darah, khususnya pada masa menopause. Selain itu, ternyata orang kulit putih (kaukasia & asia) seperti kita lebih beresiko mengalami osteoporosis daripada orang kulit berwarna (Afrika) karena massa tulangnya lebih kecil.

Karena itu, jika pun sudah terlanjur jatuh cinta, atau bahkan kecanduan dengan kafein, disarankan konsumsinya hanya pada level sedang (< 300 mg/hari), atau setara dengan 475 mL kopi seduh, 946 mL teh seduh, atau 355 mL soft drink yang mengandung kafein seperti kola. Mengonsumsi bahan pangan tinggi kalsium tentu akan lebih baik lagi untuk memastikan kebutuhan tubuh kita tercukupi. Sumber kalsium dalam bahan pangan yang memiliki bioavailabilitas tinggi adalah susu dan hasil olahannya, seperti keju dan yoghurt. Pangan sumber kalsium lain di antaranya sayuran berdaun hijau seperti kangkung, bayam, dan daun lobak cina; brokoli, kubis, kecambah, dan makanan yang difortifikasi kalsium seperti sereal dan jus buah.