Saya bukan ingin menyusun sinopsis atau mengupas gambaran besar isi tulisan Mbak Asma Nadia itu. Hanya ingin sedikit berbagi, uhm, sebut saja kecemasan.

Isinya boleh dibilang jauh dari kesan indah. Sebanyak 29 kisah di dalamnya, adalah kisah mengharu biru yang sungguh menguji kesiapan mental saya menghadapi fase baru dalam hidup. Perceraian, poligami, ditinggalkan untuk selamanya, dan banyak lagi kisah-kisah unpredictable lain.
Kebetulan, beberapa kenalan juga mengalami kejadian paling dihindari dalam rumah tangga: perceraian. Beberapa bahkan sudah memiliki buah hati ketika itu. Tentu mereka juga tidak pernah menginginkannya. Tapi apa daya, kata mereka, tidak ada jalan yang lebih baik dari itu. Seorang dari mereka -sebut saja Mbak Yani- pada awalnya limbung, tidak tau harus apa untuk menghidupi anak-anaknya, karena sebelumnya tanggung jawab menafkahi keluarga sepenuhnya ada di pundak suami. Seperti Mbak Asma Nadia, saya juga tidak berhak menghakimi siapa yang memiliki porsi kesalahan lebih besar, Mbak Yani atau suaminya. Tetapi, mendengar kisah beliau, saya miris. Bagaimana bisa seorang suami tega meninggalkan istri yang tanpa pekerjaan untuk menghidupi anak-anak mereka sendirian?
Beberapa hari lalu, sempat juga berdiskusi soal poligami dengan
seseorang. Dia menanyai saya tentang kesiapan berpoligami. Tentu saya
bilang tidak. Tidak pernah terbayang akan seperti apa rupanya berbagi
suami dengan orang lain. Soal materi dan waktu, mungkin bisa saja adil.
Tapi soal hati, siapa yang bisa menjamin? Dan jawaban saya final, tidak.
Terkecuali ada hal lain yang teramat mendesak. Tetapi, jauh di lubuk hati saya, diam-diam tersimpan kekhawatiran bahwa kelak dia benar-benar akan mengajukan permohonan tersebut. Meskipun, sepertinya dia hanya ingin saya siap menghadapi hal-hal unpredictable semacam itu. *Hmm.. saya tidak berani berfikir lebih jauh*
Fyi, dulu saya begitu idealis, berfikir bahwa setinggi apa pun pendidikan saya kelak, setelah menikah karir saya adalah di rumah, mengurus suami & mendidik anak-anak menjadi generasi yang membanggakan. Menurut saya, dulu, itu adalah pencapaian yg luar biasa bagi seorang perempuan, melebihi apa pun. Tetapi pada akhirnya, berhadapan dengan kisah-kisah di luar prediksi, terus terang idealisme saya sedikit demi sedikit bergeser. Bukan berarti saya tidak lagi mementingkan karir di rumah. Bukan juga saya ingin menomorduakan hal tersebut. Melainkan, sebagai perempuan, kelak saya harus bisa menghidupi (minimal) diri saya sendiri, sehingga jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, saya masih punya pegangan. Tetapi, tentu, konsekuensinya, saya harus lebih pandai memanage waktu, menyiapkan diri menjadi pribadi yang lebih tangguh untuk memikul dua tanggung jawab sekaligus, yang kelihatannya sama sekali bukan perkara mudah.
Hmm.. anyway, sepertinya saya berfikir terlalu jauh ya. Ada yang bakal ketawa sepertinya setelah baca ini ^_^